Langsung ke konten utama

Cerpen "Sore"



 Sore adalah waktu favoritku, dalam putaran 24 jam hanya sore yang kutunggu Ini adalah tahun keduaku setelah  lulus dari salah satu universitas swasta di kota hujan ini. Aku orang yang sangat santai dan sedikit cuek, aku seorang fotografer dan seorang penulis lepas. 

Sebenarnya aku belum juga menemukan pekerjaan yang tetap. Tapi aku tipe orang yang santai dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup, meski sebenarnya kepalaku rasanya ingin pecah ketika menghadapi akhir bulan. Selama aku hidup, permasalahan terbesar yang harus segera di selesaikan hanya satu yaitu BAYAR KOSAN TEPAT WAKTU! Itulah masalah terbesarku Pagi ini aku sedang bersiap siap pergi ke salah satu kantor yang membutuhkan seorang fotografer, tidak sia- sia juga aku begadang hanya untuk mengemis pekerjaan pada salah satu teman semasa kuliah dulu. 

Rasanya pagi ini berbeda dengan pagi sebelumnya, meski langit mendung dan udara yang lumayan dingin tapi menurutku pagi ini adalah pagi terindah. Aku termasuk orang yang aneh, disaat orang mengumpat karena pagi- pagi hujan sudah menyapa bumi, tapi aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu,  kalian tahu? kresek adalah benda terwajib yang harus aku bawa ketika musim penghujan.Fungsinya hanya untuk antisipasi ketika hujan datang dan ranselku akan aku masukan kedalam kresek itu.

*** 

Aku memasuki sebuah kantor minimalis yang menurutku kantor ini masih terbilang baru dan unik. Aku yakin pemilik kantor ini pasti memiliki selera seni yang sangat tinggi, dari mulai tembok yang dihiasi lukisan abstrak peralatannya pun berbeda dengan kantor- kantor yang lain . Aku menikmati lukisan-lukisan tersebut sekaligus mengabadikan dalam sebuah kamera kesayanganku, namun tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang, 

"July" kata sesorang yang menepuk bahuku. 

“I-yah sa-ya Pak” jawabku gugup, 

 "Langsung keruangan saya saja” katanya sambil berlalu. 

“ baik pak” aku mengikutinya, langkahnya masih sama cara bicaranya pun masih sama cuek dan terkesan jutek, ingin rasanya aku protes pada waktu,kenapa aku harus bertemu dengan dia lagi? 

“Aduh!“ karena aku terlalu fokus dengan gerutuanku dalam hati, sehingga aku tidak menyadari ternyata orang yang ku maksud sedang berhenti unuk membuka ruangan yang sepertinya terkunci, dia menengok ke arahku dan menaikan sebelah alisnya, aku yang melihat hal itu langsung buru-buru menunduk.

“ silahkan duduk” dia mempersilahkan sambil menunjuk ke sebuah kursi, Ya Allah kenapa kau mempertemukan aku dengan nya lagi baru dua tahun aku merasakan ketenangan dalam hati ini tapi sekarang kau memberiku ujian yang lebih berat dari pada membayar kostan tepat waktu. Ck ck ck.

Aku memijat keningku yang sama sekali tidak terasa pusing, sengaja aku menunduk sambil memikirkan bagaimana nasibku jika benar-benar di terima di perusahaan ini.

 “Hobi kamu menunduk?” tanyanya kepadaku sambil melepas topi yang sadari tadi dia kenakan 

“Eh, eggak pak” jawabku cepat sambil memperlihatkan senyuman yang terkesan bodoh. Ah, aku benar-benar tidak fokus ketika melihat dia tanpa mengenakan topi, rasanya ingin sekali aku mencopot mata ini ucapku dalam hati sambil geregetan sendiri 

“langsung saja, saya sedang butuh seorang fotografer sekaligus penulis dan saya dengar dari Roby kamu seorang fotografer sekaligus penulis lepas di sosial media, saya rasa kamu cocok, bagaimana? bisa tidak mulai hari ini kamu langsung bekerja?” 

Sumpah! selama hidupku baru kali ini aku mendengar dia berkata panjang lebar, ya Allah tolong hambamu ini yang sepertinya akan jatuh cinta lagi padanya. 

 “Gimana?” tanyanya sambil melihat ke arahku 

“Iyah pak saya mau” entah keberanian dari mana aku menjawab tanpa ragu sekaligus melihat wajahnya, yang seketika itu langsung aku palingkan mata ini sebelum berkhianat.

Setelah keluar dari ruangan nya aku merasa lega, tak sanggup rasanya jantung ini jika harus berlama-lama berhadapan denganya. Setelah itu aku di antar oleh salah satu karyawan yang akan menunjukan di mana letak ruangan ku.

 “Ini ruangan nya mba, silahkan masuk” kata karyawan tadi sambil membukakan pintu

"Makasih banyak mba, maaf merepotkan” kataku sambil membungkuk 

“Santai “ katanya sambil menepuk bahuku sekaligus berlalu dan kembali ketempatnya.

 Aku memasuki ruangan yang mulai sekarang menjadi tempat kerjaku, pandangan ku mengedar ke semua sudut yang ada di dalam ruangan ini, meja kerjaku tepat menghadap ke arah gedung-gedung dan jalan raya, aku suka sekali dengan ruangan kerjaku ini dari mulai dinding berwarna hitam dan semua benda yang ada di dalam ruangan ini berwarna putih. 

Aku merasa heran sepertinya dulu ruangan ini  ruangan pribadi atau spesial.

 **** 

Sore sudah menyapa dan aku berharap kali ini senja akan menemaniku, meski gumpalan awan hitam menghiasi langit. Meski begitu aku selalu setia menunggu senja. 17:14 WIB sebenarnya jam pulang kantor sudah terlewat namun aku enggan untuk beranjak dari tempat duduk ku saat ini, seperti biasa dengan di temani secangkir kopi aku akan melihat soreku pergi perlahan di telan malam. 

 “Menunggu senja di musim penghujan sama saja seperti menunggumu yang entah kapan kamu akan memiliki perasaan yang sama sepertiku.  Aku tidak pernah menyesal menunggumu walau hanya sedikit harapan atau bahkan tidak ada sama sekali,aku yakin ini bukan akhir dari kisahku yang memiliki perasaan sejak masa kuliah dulu. Ini hanya soal waktu saja,  jika sudah tiba waktunya kamu pun akan menyadiri bahwa ada sesorang yang selalu menunggumu, kamu itu bagaikan senja di musim penghujan yang sulit sekali muncul diantara gumpalan awan hitam”
 itulah kata-kata yang aku tuliskan di dalam buku dyari ku. 



setiap orang memiliki harapan dan cinta
dan setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk membuat dirinya bahagia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanyaan

Sebuah pertanyaan yang tidak perlu di Jawab dengan berbagai alasan. Sebuah pembuktian yang tidak perlu aku dengar dari cerita-cerita orang. Hidup ini memang perlu bukti!  Dan cara membuktikan nya harus aku sendiri yang menjalani, menyusuri setiap detik waktu dan sejauh mana kaki ini akan melangkah. Sehingga pada akhirnya muncul satu pertanyaan apa saja yang sudah aku dapatkan dalam hidup?. Cukup satu jawaban saja yang perlu aku miliki yaitu melibatkan Allah dalam setiap langkah ku. Indahnya kematian pun dinilai dari seberapa besar kita memaknai waktu yang kala itu masih tersisa. Ann